Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan
oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ
tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan
intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada
dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing
individu tersebut.
Kecerdasan intelektual (IQ) diyakini
menjadi sebuah ukuran standar kecerdasan selama bertahun-tahun. Bahkan hingga hari ini pun masih banyak orangtua yang mengharapkan
anak-anaknya pintar, terlahir dengan IQ (intelligence quotient) di atas level
normal (lebih dari 100). Syukur-syukur kalau bisa jadi anak superior dengan IQ
di atas 130. Harapan ini tentu sah saja. Dalam paradigma IQ dikenal kategori
hampir atau genius kalau seseorang punya IQ di atas 140. Albert Einstein adalah
ilmuwan yang IQ-nya disebut-sebut lebih dari 160.
Namun, dalam perjalanan berikutnya orang mengamati, dan pengalaman
memperlihatkan, tidak sedikit orang dengan IQ tinggi, yang sukses dalam studi,
tetapi kurang berhasil dalam karier dan pekerjaan. Dari realitas itu, lalu ada
yang menyimpulkan, IQ penting untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi kemudian jadi
kurang penting untuk menapak tangga karier. Untuk menapak tangga karier, ada
sejumlah unsur lain yang lebih berperan. Misalnya saja yang mewujud dalam
seberapa jauh seseorang bisa bekerja dalam tim, seberapa bisa ia menenggang
perbedaan, dan seberapa luwes ia berkomunikasi dan menangkap bahasa tubuh orang
lain. Unsur tersebut memang tidak termasuk dalam tes kemampuan (aptitude test)
yang ia peroleh saat mencari pekerjaan. Pertanyaan sekitar hal ini kemudian
terjawab ketika Daniel Goleman menerbitkan buku Emotional Intelligence: Why It
Can Matter More Than IQ (1995).
Sebelumnya, para ahli juga telah memahami bahwa kecerdasan tidak
semata-mata ada pada kemampuan dalam menjawab soal matematika atau fisika.
Kecerdasan bisa ditemukan ketika seseorang mudah sekali mempelajari musik dan
alat-alatnya, bahkan juga pada seseorang yang pintar sekali memainkan raket
atau menendang bola. Ada juga yang berpendapat kecerdasan adalah kemampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan lainnya beranggapan kecerdasan
adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak dan seterusnya.
Kemudian dari berbagai hasil penelitian, telah banyak terbukti
bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih significant disbanding
kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat
minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hampir
seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti
banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, terpuruk di
tengah persaingan. Sebaliknya banyak orang yang kecerdasan intelektualnya
biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja,
pegusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di
sinilah kecerdasan emosi atau emotional quotient (EQ) membuktikan
eksistensinya.
EQ adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman.
Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995)
berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran
rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan
intelektual atau yang popular dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ),
sedangkan pikiran emosional degerakan oleh emosi.
EQ merupakan serangkaian kemampuan mengontrol dan menggunakan
emosi, serta mengendalikan diri, semangat, motivasi, empati, kecakapan sosial,
kerja sama, dan menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Dengan berkembangnya teknologi pencritaan otak (brain-imaging),
yaitu sebuah teknologi yang kini membantu para ilmuwan dalam memetakan hati
manusia, semakin memperkuat keyakinan kita bawa otak memiliki bagian rasional
dan emosional yang saling bergantung.
Setelah itu, ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya
berhasil merai prestasi dan kesuksesan, acapkali rang tersebut disergap oleh
perasaan “kosong” dan hampa dalam celah batin kehidupanya. Setelah prestasi
puncak telah dipijak, ketika semua pemuasan kebedaan telah diraihnya, setelah
uang hasil jeri payah berada dalam genggaman, ia tak tahu lagi ke mana harus
melangkah. Untuk apa semua prestasi itu diraihnya?, hingga hampir-hampir
diperbudak oleh uang serta waktu tanpa tahu dan mengerti di mana ia harus
berpijak?.
Di sinilah kecerdasan spiritual atau yang biasa disebut SQ muncul
untuk melengkapi IQ dan EQ yang ada di diri setiap orang. Danah Zohar da Ian
Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ
merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas
SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang telah dibahas sebelumnya,
karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya.
Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional
bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari
pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan
Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual), seperti di bawah ini:
*
Indikator dan alat ukur IQ, EQ dan SQ.
Berdasarkan
pengalaman, tidak ada indikator dan alat ukur yang jelas untuk mengukur atau
menilai kecerdasan setiap individu, kecuali untuk kecerdasan intelektual atau
IQ, dalam konteks ini dikenal sebuah tes yang biasa disebut dengan psikotest
untuk mengetahui tingkat IQ seseorang, akan tetapi test tersebut juga tidak
dapat secara mutlak dinyatakan sebagai salah satu identitas dirinya karena
tingkat intelektual seseorang selalu dapat berubah berdasarkan usia mental dan
usia kronologisnya.
Sedangkan
untuk kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), hingga saat ini
belum ada alat yang dpat mengukurnya dengan jelas karena dua kecerdasan
tersebut bersifat kualitatif bukan kuantitatif.
Seperti
halnya dengan alat ukur kecerdasan, indikator orang yang memilki IQ, EQ dan SQ
juga tidak ada ketetuan yang jelas, sehingga untuk mengetahui seseorang
tersebut memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual biasanya dilihat dari hal-hal yang biasanya ada pada orang yang
memiliki IQ, EQ dan SQ tinggi dan dilihat berdasarkan kompone dari klasifikasi
kecerdasan tersebut.
Orang yang memiliki kecerdasan intelektual
(IQ) yang cukup tinggi dapat dilihat selain dari hasil tes, dapat terlihat juga
bawa biasanya orang tersebut memiliki kemapuan matematis, memiliki kemampuan
membayangka ruang, melihat sekeliling secara runtun atau menyeluruh, dapat
mencari hubungan antara suatu bentuk dengan bentuk lain, memiliki kemapuan untuk
mengenali, menyambung, dan merangkai kata-kata serta mencari hubungan antara
satu kata dengan kata yang lainya, dan juga memiliki memori yang cukup bagus.
Seseorang dengan kecerdasan emosi (EQ)
tinggi diindikatori memiliki hal-hal sebagai berikut :
-
Sadar
diri, panada mengendalikan diri, dapat dipercaya, dapat beradaptasi dengan baik
dan memiliki jiwa kreatif,
-
Bisa
berempati, mampu memahami perasaan orang lain, bisa mengendaikan konflik, bisa
bekerja sama dalam tim,
-
Mampu
bergaul dan membangun sebuah persahabatan,
-
Dapat
mempengaruhi orang lain,
-
Bersedia
memikul tanggung jawab,
-
Berani
bercita-cita,
-
Bermotivasi
tinggi,
-
Selalu
optimis,
-
Memiliki
rasa ingin tahu yang besar, dan
-
Senang
mengatur dan mengorganisasikan aktivitas.
Lain halnya dengan indikator-indikator dari orang yang memiliki
IQ dan S yang cukup tinggi di atas, orang yang miliki kecerdasan spiritual yang
tinggi tidak dapat dilihat dengan mudah karena kembali ke pengertian SQ, yaitu kemampuan seseorang untuk memecahkan
persoalan makna dan nilai, untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa jalan hidup yang
kita pilih memiliki makna yang lebih daripada yang lain, dari hal tersebut
dapat dilihat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecakapan yang lebih bersifat
pribadi, sehingga semua kembali kepada individu itu sendiri dan kepada
hubungannya dengan Sang Pencipta.
*
Upaya apa saja yang dapat kita lakukan untuk mengoptimalisasikan IQ,
EQ, dan SQ.
Selain
dengan asupan gizi yang cukup dan seimbang ke dalam tubuh, ntuk
mengoptimalisasikan kecerdasan intelektual atau IQ dapat diupayakan dengan melatih
7 kemampuan primer dari inteligensi umum, yaitu :
1.
Pemahaman
verbal,
2.
Kefasihan
menggunakan kata-kata,
3.
Kemampuan
bilangan,
4.
Kemampuan
ruang,
5.
Kemampuan
mengingat,
6.
Kecepatan
pengamatan,
7.
Kemampuan
penalaran.
Untuk mengoptimalisasikan kecerdasan emosi
(EQ) seseorang dapat dilakukan dengan mengasah kecerdasan emosi setiap individu
yang meliputi :
-
Membiasakan
diri menentukan perasaan dan tidak cepat-cepat menilai orang lain/situasi
-
Membiasakan
diri menggunakan rasa ketika mengambil keputusan
-
Melatih
diri untuk menggambarkan kekhawatiran
-
Membiasakan
untuk mengerti perasaan orang lain
-
Melatih
diri menunjukan empati
-
Melatih
bertanggung jawab terhadap perasaannya sendiri
-
Melatih
diri untuk mengelola perasaan dengan baik
-
Menghadapi
segala hal secara positif.
Sedangkan untuk mengoptimalisasikan atau
memfungsikan kecerdasan spiritual dapat dengan upaya sebagai berikut :
a.
Menggunakan
aspek spiritual dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan
makna dan nilai
b.
Dengan
melalui pendidikan agama
c.
Melatih
diri untuk melihat sesuatu dengan mata hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar