1.
Pandangan konstruktivistik tentang proses dan cara
belajar anak usia dini.
Secara
umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi seseorang pembelajar
dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui aktivitas individu dan
sosial. Tidak ada satupun teori belajar tentang konstruktivisme, namun terdapat
beberapa pendekatan konstruktivis, misalnya pendekatan yang khusus dalam
pendidikan matematik dan sains. Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky
menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan
(konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi
individu lah yang utama (konstruktivisme individu).
Selanjutnya
langsung kepada pendangan konstruktivistik sendiri mengenai proses dan cara belajar
anak usia dini, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan menelaah bagaimana
hakikat anak menurut pandangan teori belajar konstruktivistik, yaitu seperti uraian
yang saya ambil dari artikel online yang ditulis oleh Hamzah (2008) di bawah
ini :
a.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal
berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental
Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak
untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir
hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi
dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada
tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi,
1988: 132). Selanjutnya Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh
secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan
keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61). Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak.
b.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik
yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan
terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis
(Hudoyo, 1998: 5).
Kemudian
mengenai pendangan konstruktivistik akan proses belajar anak adalah
2.
Implikasi pandangan konstruktivistik terhadap kegiatan
belajar pembelajaran anak usia dini.
Sebelum
kita langsung ke dalam pembahasan implikasi pandangan konstruktivistik pada
pembelajaran bagi anak usia dini. Mari kita telaah dahulu hakikat pembelajaran
itu sendiri dalam pandangan konstruktivistik. Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa
siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan
kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan
sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.
Kemudian,
setelah kita tahu hakikat pembelajaran dalam pandangan konstruktivistik, kita
mendapatkan sedikit gambaran mengnai seperti apa implikasinya. Dan untuk lebih jelasnya,
berikut implikasi pembelajaran dalam koridor konstruktivistik yang saya
dapatkan dari artikel online yang ditulis oleh Hamzah (2008), yaitu :
a.
Implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi
yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.
b.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan
dengan informasi baru yang diterima.
c.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan
mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang
dimiliki anak.
d.
Selain penekanan dan prinsip-prinsip tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1)
siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)
strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
e.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,
dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar