Senin, 15 Februari 2016

Dysphasia

Dysphasia merupakan ganguan perkembangan otak. Dysphasia  sendiri diambil dari istilah aphasia. Aphasia adalah keadaan dimana seseorang mengalami gangguan kehilangan kemampuan bicara yang disebabkan karena traumatic brain injury atau cerebral palsy akibat  kecelakaan, tumor, dan pendarahan otak. Dysphasia adalah bentuk ringan dari aphasia.
Di bawah ini adalah pembagian kelompok mana yang dimaksud merupakan murni dysphasia development. 
Klasifikasi communication and language disorder pada anak
A. Developmental language disorders (ganguan perkembangan berbahasa)
1.    Hanya mengalami gangguan ekspresif dengan pemahaman normal dengan sedikit atau tanpa  komorbiditas  - gangguan lain yang menyertainya (pure dysphasia development atau expressive language disorder menurut DSM IV)
2.   Gangguan campuran antara perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif (mixed receptive-expressive language disorder DSM IV). Seringkali terjadi adanya deskrepansi (perbedaan) yang bermakna antara skor tes verbal IQ dengan performal (non-verbal) IQ, dimana skor verbal IQ mencapai skor yang sangat rendah. Atau non-verbal IQ mencapai skor lebih tinggi daripada tes pemahaman bahasa. Pemahaman bahasa lebih rendah daripada rata-rata anak seusianya, artinya  ada gangguan perkembangan bahasa reseptif  (receptive dysphasia).
1 dan 2 di atas dapat terjadi pada anak yang mengalami gangguan perkembangan bahasa dan bicara.
B. Gangguan bahasa reseptif: diluar definisi dysphasia development, karena pemahaman bahasa lebih jelek daripada bahasa ekspresif.
1.    Kemampuan reseptif dan ekspresif sangat rendah (delay atau tertinggal); seringkali diikuti dengan gangguan nonverbal (mengalami juga keterbelakangan mental). Dalam bentuk yang parah didapatkan asymbolic mental retardation  atau “mute autistic”. Pemahaman bahasa dan bicara sama sekali tak nampak.

2.    Verbal-auditory agnosia atau congenital word deafness (bentuk ringan dari phonologic perception problem)
3.    Cortical deafness, total auditory agnosia (congenital auditory imperception).
4.    Gangguan sensorik pendengaran yang parah.
C. Gangguan semantik-pragmatik
     Gangguan bahasa  Semantik (pengertian) – pragmatik (penggunaan)   sering dimulai     dengan bahasa dengan  echolalia yang banyak.
D. Gangguan kelancaran bicara, atau gagap.
E. Mutisme selektif (tidak mau bicara dalam situasi atau tempat tertentu)
F. Miskin bahasa karena kurang stimulasi
G. Gangguan artikulasi dan gangguan perkembangan bahasa dan bicara, sering disebabkan karena masalah  seperti dalam pembagian 1 & 2

Gangguan perkembangan bicara dan bahasa karena sebab-sebab lain:
1. Child-afasia  (disebabkan karena traumatic, tumor, infeksi)
2. Landau-Kleffner-syndrom (gejala mirip pada pembangian B)
3. Kemunduran perkembangan bahasa dan bicara dengan penyebab tak diketahui dengan atau tanpa epilepsi saat tidur dan gangguan nosologi yang tak diketahui penyebabnya, sering juga terjadi pada Autisme Spectrum Disorder (ASD).

Sumber: C.Njiokiktjen (psikiater & neurolog anak) dalam artikel: De Relatie tussen taalontwikkelings-stoornissen en autisme, Wettenschaplijk Tijdschrift Autisme, nummer 2, augustus 2005.

Faktor pendukung dysphasia.
Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian sebagai faktor pendukung perkembangan bahasa dan bicara anak-anak dengan pure dysphatic development:
J  Faktor relasi emosi dikatakan sebagai faktor penunjang perkembangan adalah karena agar si anak dapat mengembangkan dirinya sendiri dengan cara membangun relasi sosial dengan seseorang terdekatnya;
J  kontak fisik dengan sentuhan, belaian, ciuman, duduk berdampingan, yang mempunyai arti baginya, akan memberikan rasa aman pada anak, selain itu juga kita perlu mensinkronisasikan diri dengan sentuhan anak (body awarness);
J  faktor motorik mempunyai arti dalam pengembangan bahasa dan bicara, sebab berbicara adalah gerakan/motorik, dan gerakan akan menstimulasi bicara; 
J  faktor imitasi: pada dasarnya perkembangan bahasa dan bicara anak didasari pada faktor imitasi dari apa yang diucapkan dan dibicarakan oleh orang-orang sekitarnya;
J  faktor permainan sebagai alat bantu akan lebih mempermudah hingga terjadinya spontanitas anak untuk melakukan interaksi terutama guna peningkatan kemampuan non-verbal.

Prinsip penanganan pada fase awal verbal
           Dalam fase ini Instituut Dysfatisch Ontwikkeling menggunakan metode yang kemudian dinamakan Tan-Sóderbergh Metoda, yang sudah dimulai dicobakan oleh institute ini sejak tahun 1986.  Prinsipnya adalah memanfaatkan  perkembangan yang dominan pada anak-anak ini, yaitu mereka mempunyai perkembangan otak sebelah kanan yang dominan. Otak sebelah kanan ini lebih berfungsi untuk mengatur fungsi visual, seperti mengenal berbagai logo-logo, lebih cepat membaca melalui berbagai logo dan alfabhet, maka kelebihan ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan juga kemampuan verbal yang tertinggal. Metoda ini diperuntukkan pada anak-anak pure dysphatic development usia 3-4 tahun, saat mana anak-anak ini sudah mulai berbicara.
          Kegiatannya dilakukan perkelompok, di sekolah, antara 4 – 5 anak dengan satu orang pembimbing. Selain dilakukan di sekolah juga dilakukan secara simultan dan terpadu di rumah oleh orang tua/ibunya.  Karena itu tetap dibutuhkan kerjasama terpadu antara orang tua dan guru. Perkembangan individual tetap mendapatkan perhatian, agar kegiatan yang diberikan sesuai dengan perkembangan dan minat anak.
          Pada prinsipnya metoda ini mengajarkan berbicara dan berbahasa dengan menggunakan berbagai kata-kata yang menjadi perhatian si anak, kata-kata dan huruf serta kalimat yang tersebar dimana-mana di sekitarnya. Perhatian anak ini kita manfaatkan untuk mengembangkan apa yang ia lihat, dan kita manfaatkan untuk mengembangkan kemampuan verbalnya yang tertinggal. Huruf, kata-kata, kalimat yang menjadi perhatiannya itu kita kembangkan bahwa hal itu menjelaskan sesuatu, dimana referensi (buku-buku) yang bisa menjelaskan kata-kata tadi. ( Misalnya ia melihat kata kapal, kita jelaskan kapal itu apa, bagaimana bentuknya, dimana dapat kita temukan, bagaimana menbuatnya, dan seterusnya).

Sumber :
http://www.ditplb.or.id/2007/content.

Oleh : Auliana Cahya Ifani (2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar