Kisah ini berawal dari sebuah tempat penitipan anak di Bandung, ada seorang anak yang pagi sekolah TK dan pulang sekolahnya langsung dititipkan pada TPA/Daycare tersebut. Anak ini bersekolah di taman kanak-kanak yang bisa dibilang cukup dikenal di kota Bandung. Dia diantar ke TPA/Daycare oleh Ayahnya, dengan membawa sepasang sandal yang terbakar sedikit di ujungnya sang Ayah mengutarakan keluh kesahnya pada kepala TPA/Daycare tersebut.
“Bu, tolong ini anak saya harus di apakan ya? anaknya nakal sekali, dia membakar sandal saat kami ke mini market. Pihak sekolah pun menyarankan saya untuk membawa anak ini ke psikolog untuk diterapi, karena di sekolah dia hampir menciptakan kebakaran karena dia membakar tumpukan tissue yang ada di kantor tata usaha, dan lain sebagainya, haduuuh saya pusing bu, saya harus bagaimana?”
Singkat cerita anak ini pun mulai diobservasi oleh kepala TPA/Daycare tersebut. Saat anak tersebut bermain sedikit demi sedikit data dikumpulkan. Ternyata anak tersebut itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Salah satu percakapannya :
(langsung ke inti percakapannya ya, hehe)
“Hei ari (nama disamarkan) katanya ari bakar sandal ya waktu ke mini market sama Papa?”
“Iya..”
“Mmh,, pakai apa bakarnya?”
“Pakai korek yang ada airnya itu lho”
“Oooh,, seperti ini?” (Sambil kasih lihat korek bensin)
“Iya” (dan ternyata memang dia bisa menggunakan korek bensin itu)
“Kenapa Ari bakar sendalnya?”
“Abisnya aku kan mau lihat miss sendalnya kayak apaan, plastiknya susah dibuka jadi aku bakar aja”
“Mmmh.. sudah izin belum sama penjualnya”
“Mmmhh.. belum”
“Boleh ngga kalo ambil yang bukan milik Ari tanpa izin?”
“Ngga boleh miss”
“Jadi harus bagaimana?”
“Izin dulu ya miss?”
“Iya, Ari mau janji sama miss? Kalau mau ambil sesuatu yang bukan milik ari boleh izin dulu ya?”
“Iya miss, Ari janji”
(percakapan lainnya)
“Oh iya, tadi miss denger cerita, katanya Ari bakar tissue di sekolah, emang iya?”
“Iya miss”
“Boleh tau kenapa tissue yang banyak itu dibakar?”
“itu miss, bagus deh miss ada asepnya gitu waktu aku bakar, kaya petasan waktu ada acara imlek miss”
“Oooh begitu, Ari dapat dari mana koreknya?”
“Ada di kantornya juga miss, di meja, trus aku lihat ada putih-putih seperti petasan waktu imlek, aku mau liat itu bisa nyala juga apa engga”
Begitulah kurang lebih cerita teteh kepala daycare yang menginap di kostan saya weekend lalu. Apa anak tersebut memerlukan terapi? Beliau banyak share cerita bahwa itu bukan pertama kalinya mendengar ada anak yang agak aktif atau tidak mau diam langsung disarankan periksa ke psikolog, ada anak yang pukul-pukul sana-sini langsung disarankan periksa ke psikolog, ada anak yang masih cadel langsung minta orang tuanya ke tumbuh kembang, dan lain sebagainya, yang kadang membuat hati sedih, apalagi jika semua statement dari para pendidik itu muncul di awal tahun ajaran, yang anak-anak masih beradaptasi dengan lingkungan, yang anak masih bertemu kita beberapa kali. Pendidikan itu berproses, titik.
Memang, jika kita bisa mengenali atau mendeteksi hal-hal special pada diri anak , maka penanganannya pun dapat lebih cepat dan tepat. Tapi bukan berarti bisa dengan mudah membuat rekomendasi/rujukan tho? Tetap deteksi pun ada rambunya, ada yang harus disiapkan dan dilakukan tidak hanya sekali saja, tak bisa terburu-buru. Sekali lagi, proses. Bersyukurlah jika kita termasuk orang sangat menghargai proses.
Cerita itu membuat saya berpikir kembali tentang diri saya sendiri..
Apakah saya guru yang begitu mudah menjudge anak?
Apakah saya guru yang mudah menyerah sehingga melimpahkan anak-anak yang lari-lari di kelas, lompat-lompat di kelas dan belum tau intruksi itu pada psikolog dengan dalih “anak ini special”?
Apakah saya guru yang tak mau ambil pusing dengan anak-anak yang unik itu?
Ah Astaghfirullah, jangan sampai saya melakukan kecerobohan fatal dan menjerumuskan diri sendiri pada sikap yang tak bijak seperti itu.
Saya tak cukup percaya diri jika hanya dengan sekali melihat atau sekali berinteraksi, saya bisa mengenal karakteristik anak secara keseluruhan.
Saya tak cukup ilmu untuk begitu cepat menilai seorang anak itu berkebutuhan khusus atau tidak.
Pasti harus menggunakan instrument yang jelas, valid dan sesuai jika mau mengobservasi anak, dan bukan kapasitas saya.
Saya pun tak cukup tega menghakimi seorang anak yang memiliki hak sama dalam memperoleh pemenuhan kebutuhan fisiknya, kebutuhan rasa amannya, kebutuhan menjadi bagian dari sebuah kelompok, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan aktualisasi dirinya.
Terima kasih Allah, sudah mengingatkan saya kembali, menegur, dan membuat saya berpikir pendidik macam apakah saya ini. Meski saat ini hati sedang tak nyaman karena dihadapkan pada sesuatu yang bertentangan dengan hati, tapi itu bukan alasan bagi saya untuk tak mau berusaha lebih keras, untuk tak mau lelah, untuk malas menstimulus anak yang luar biasa beragamnya, perkembangan anak-anak harus tetap menjadi prioritas utama. Bismillah, semoga istiqomah. Aamiin.